Sejarah Sastra Indonesia

Perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia berjalan dengan pesatnya. Hasil kebudayaan bangsa Indonesia mampu menyamai hasil kebudayaan bangsa maju lainnya. Tidak hanya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi saja yang telah dikuasai bangsa Indonesia, misalnya politik.

Dalam bidang kesenian dan kebudayaan, Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Karya kebudayaan dan kesenian Indonesia dihargai oleh berbagai bangsa di dunia. Kunjungan pagelaran kesenian Indonesia di berbagai negara selalu mendapat tanggapan positif dari bangsa lain. Hasil karya putra Indonesia tidak kalah kualitasnya dengan negara lain. Banyak karya sastra bangsa Indonesia yang sudah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Bangsa Indonesia mengalami perkembangan kebudayaan setahap demi setahap, diawali dengan zaman purba, yaitu sebuah zama yang sangat primitif dan sederhana. Tahap-tahap perkembangan kebudayaan Indonesia:

Zaman Purba
Generasi awal dari suatu bangsa disebut masyarakat purba atau masyarakat primitif. Pada zaman tersebut, penduduknya tidak memikirkan dan membutuhkan barang mewah. Mereka hanya memikirkan dan membutuhkan kebutuhan pokok, seperti makan, minum, dan tidur. Masyarakat purba dibagi menjadi tiga zaman, yaitu:



Zaman Batu
Masyarakat purba yang paling awal disebut masyarakat purba zaman batu. Disebut zaman batu karena perkakas yang digunakan terbuat dari batu. Alat-alat yang terbuat dari batu antara lain mata tombak, mata linggis, pisau, manik-manik, atau perhiasan. Sedangkan perkakas dapur seperti wajan, bejana, belanga, piring, gerabah, dan beberapa perkakas lainnya terbuat dari tanah liat. Walaupun kehidupan masyarakat purba zaman batu masih sederhana, kesenian pada masa ini sudah ada dan bentuk keseniannya pun masih sangat sederhana. Dalam bisang seni lukis mereka suka melukis gambar-gambar binatang pada dinding gua atau kulit binatang. Seni pertunjukan masyarakat zaman ini berbentuk upacara persembahan dan permujaan kepada dewa-dewa.
Bentuk sastra lain yang muncul pada masa ini adalah cerita pelipur lara dan dongeng-dongeng. Dongeng dan pelipur lara berbentuk sastra lisan. Sastra lisan adalah dongeng atau cerita pelipur lara yang dibawakan oleh seorang pawang atau dukun secara lisan.

Zaman Perunggu
Disebut zaman perunggu karena perkakas rumah tangga mereka terbuat dari perunggu. Namun, peralatan yang terbuat dari batu seperti wajan, dll. yang dihasilkan pada zaman batu masih digunakan. Kepercayaan masyarakat purba pada zaman perunggu adalah animisme yaitu memuja benda-benda mati, roh, atau dewa. Perkakas perunggu yang mereka hasilkan sudah mulai diukir sehingga menjadi indah. Hasil karya sastra ini masih berbentuk mantra atau cerita pelipur lara.

Zaman Tembaga
Pada zaman tembaga, masyarakat purba semakin meninggalkan perkakas yang terbuat dari batu. Perkakas yang mereka gunakan pada zaman ini terbuat dari perunggu dan tembaga. Bejana-bejana yang tadinya terbuat dari tanah liat atau keramik, pada zaman ini diganti oleh perunggu dan tembaga yang lebih kuat.
Kehidupan masyarakat zaman tembaga mirip dengan kehidupan masyarakat pada zaman perunggu, yaitu beternak dan bercocok tanam. Mereka sudah mengenal irigasi walaupun masih sangat sederhana. Lukisan-lukisan binatang yang pada masa sebelumnya dilajukan di dinding gua, pada masa ini sudah dilukiskan pada perunggu dan tembaga dengan cara dipahat.
Sastra yang dihasilkan pada masa ini masih berupa cerita pelipur lara. Namun, sastra yang hidup pada masa ini masih berbentuk lisan.

Zaman Besi
Pada zaman besi, perkakas yang digunakan semakin beragam. Ada yang terbuat dari perunggu, tembaga, serta besi.
Mereka mulai membuat patung untuk menyembah Sang Pencipta. Pada zaman ini, mulai muncul pengaruh-pengaruh budaya asing karena berdatangan pedagang dari India dan China Selatan. Pedagang India membawa kepercayaan agama Hindu dan Buddha. Mereka juga membawa tulisan dan cerita-cerita Mahabarata Ramayana. Munculnya pengaruh asing menyebabkan masyarakat purba zaman besi mulai menganut agama Hindu dan Buddha. Namun masih banyak juga yang menganut kepercayaan animisme.
Karya sasta pada zaman ini masih berupa sastra lisan. Namun, ceritanya sudah mulai beragam.

Zaman Hindu-Buddha
Pada zaman besi banyak bangsa asing yang masuk ke Nusantara. Mereka bermaksud untuk berdagang dengan pedagang kecil di Nusantara, juga hendak menyebarkan kepercayaan yang mereka anut.
Pada zaman ini banyak masyarakat purba yang mulai menganut agama Hindu atau Buddha, namun masih banyak juga yang menganut kepercayaan animisme.
Para pendatang memperkenalkan kebudayaan tulisan, bangsa India memperkenalkan tulisan Pranagari dan huruf Pallawa. Huruf Pallawa berasal dari India Selatan, yang kemudian berubah menjadi huruf Jawa Kuno. Dongeng-dongeng pelipur lara yang sebelumnya disiarkan secara lisan, pada masa ini mulai disiarkan secara tertulis. Cerita pelipur lara ditulis pada daun lontar/pada kulit-kulit binatang. Cerita yang dihasilkan banyak mengandung nilai-nilai keagamaan, moral, nasihat, serta yang bersifat mendidik.

Ciri-ciri karya sastra pada zaman Hindu-Buddha:
  • Ceritanya berkisar di lingkungan pola kehidupan istana atau istanasentris.
  • Ceritanya bernapaskan nilai-nilai moral, pendidikan dan keagamaan.
  • Bersifat menghibur dan mendidik.
  • Bahasa yang digunakan sangat sederhana, yaitu bahasa Sansekerta.
  • Karya-karya sastra pada zaman Hindu-Buddha berbentuk hikayat, ramalan, dan kitab.

Zaman Islam
Kira-kira abad ke-7 Masehi, agama Islam masuk ke Nusantara. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Arab-Melayu.
Contoh karya sastra pada zaman ini antara lain kitab Papakem Cirebon, Kitab Undang-Undang Mataram, Kitab Adat Mahkota Alam.

Ciri-ciri karya sastra pada zaman Islam:
  • Bersifat istanasentris.
  • Berisikan tentang ajaran moral, pendidikan, dan agama.
  • Isinya masih bercampur dengan adat istiadat ajaran Hindu-Buddha.
  • Berisikan hal-hal keimanan.

Zaman Sastra Melayu
Sastra Melayu muncul bersamaan dengan lahirnya bahasa Melayu, yang berasal dari daerah Riau dan Malaka kemudian berkembang ke seluruh Nusantara melalui para pedagang. Sastra Melayu yang pertama berbentuk mantra, pantun, syair, dongeng pelipur lara, dan dongeng.
Karya sastra tersebut disampaikan secara lisan. Para pakar sastra modern menetapkan zaman Melayu menjadi cikal bakal lahirnya sastra Bahasa Indonesia. Contoh karya zaman Melayu:

  • Hikayat Si Miskin
  • Hikayat Hang Tuah
  • Hikayat Indrabagsawan
  • Hikayat Amir Amzah
  • Syair Bidadari
  • Syair Ken Tambunan
  • Abunawas
  • Hikayat Seribu Malam
  • dll.

Sastra Peralihan
Setelah zaman Melayu dan Islam, sejarah sastra Indonesia mengalami masa peralihan yang dikenal sebagai zaman Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi.
Karya sastrapada zaman ini:

  • Syair Abdul Muluk (karya Sitti Saleha)
  • Gurindam Dua Belas (karya Raja Ali Haji)
  • Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah
  • dll.

Sastra Indonesia
Yang dimaksud sastra Indonesia adalah sastra yang ditulis dalam Bahasa Indonesia, yaitu Bahasa Indonesia ketika Bahasa Indonesia pertama kali diumumkan sebagai Bahasa Indonesia. Karya-karya sastra yang lahir sebelum diikrarkannya Sumpah Pemuda disebut karya sastra Nusantara.
Tahun 1908, Kolonial Belanda mendirikan Komisi Bacaan Rakyat. Komisi ini bertugas menyiapkan bahan-bahan bacaan bagi rakyat Indonesia pada saat itu. Tahun 1917, Komisi Bacaan Rakyat berubah nama menjadi Balai Pustaka atau Kantor Bacaan Rayat. Buku-buku yang boleh diterbitkan oleh Balai Pustaka (BP) adalah buku yang isinya tidak membahayakan kolonial Belanda. Naskah yang masuk ke Balai Pustaka diseleksi secara ketat berdasarkan nota Rinkes. Dr. A. Rinkes adalah sekretaris pertama Balai Pustaka.

Intisari nota Rinkes:
  • Balai Pustaka berkewajiban menyediakan bahan bacaan untuk memenuhi minat baca masyarakat agar masyarakat terhindar dari bacaan-bacaan yang dapat mengacaukan pemerintahan kolonial Belanda.
  • Bahan bacaan harus bersifat mendidik dan menambah wawasan.
  • Bacaan harus bersifat universal demi perdamaian dunia.
  • Isi bacaan harus mendukung pemerintah kolonial Belanda yang berkuasa.

Nota Rinkes adalah:
  • Bahan bacaan harus bersifat mendidik.
  • Bahan bacaan tidak boleh memihak agama tertentu atau tidak boleh memecah belah.
  • Bahan bacaan tidak boleh berbau politik.