Tanam Paksa

Ketika Indonesia jatuh ke tangan pemerintah kolonial Belanda, gubernur jenderal yang memerintah adalah Johanes van den Bosch. Ia diberi tugas untuk mencari uang sebanyak-banyaknya di tanah jajahan Indonesia untuk mengisi kekosongan kas negeri Belanda akibat perang, seperi Perang Diponegoro, Perang Padri. Untuk dapat memenuhi tugas tersebut, maka Johanes van den Bosch mencetuskan sistem tanam paksa (cultuur stelsel), di mana petani diwajibkan untuk menanam jenis tanaman yang laku di pasaran internasional, seperti kopi. Sistem tanam paksa mulai diberlakukan di Indonesia mulai tahun 1830 - 1870.

ATURAN-ATURAN DALAM SISTEM TANAM PAKSA
  • Penduduk desa diwajibkan menyediakan 1/5 dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman paksa.
  • Tanah yang dipakai untuk jenis tanaman paksa dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
  • Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Jika harganya ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, maka kelebihan itu diberikan kepada penduduk.
  • Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman tersebut tidak boleh melebihi pekerjaan untuk menanam padi (60 hari).
  • Wajib tanam paksa dapat diganti dengan penyerahan tenaga kerja ke pabrik selama 65 hari dalam setahun.
  • Kegagalan panen yang bukan disebabkan oleh kesalahan petani menjadi tanggung jawab pemerintah.

PENYIMPANGAN-PENYIMPANGAN TERHADAP ATURAN SISTEM TANAM PAKSA
  • Luas tanah yang disediakan penduduk lebih dari seperlima tanah mereka. Seringkali tanah tersebut sepertiga, bahkan semua tanah desa digunakan untuk tanam paksa.
  • Pengerjaan tanaman ekspor seringkali jauh melebihi pengerjaan tanaman padi.
  • Pajak tanah masih dikenakan pada tanah yang digunakan untuk proyek tanam paksa.
  • Kelebihan hasil panen setelah diperhitungkan dengan pajak tidak dikembalikan kepada petani.
  • Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.

Guna menjamin agar para bupati dan kepala desa menunaikan tugasnya dengan baik, pemerintah kolonial memberikan perangsang yang disebut cultuur procenten di samping penghasilan tetap. Cultuur procenten adalah bonus dalam persentase tertentu yang diberikan kepada para pegawai Belanda, para bupati, dan kepala desa apabila hasil produksi di suatu daerah mencapai atau melampaui target yang dibebankan.

AKIBAT-AKIBAT SISTEM TANAM PAKSA
  • Bagi Belanda
    • Belanda mendapatkan keuntungan yang besar, antara 3 sampai 18 juta golden. Hal ini disebabkan meningkatnya hasil tanaman ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di pasaran Eropa.
    • Perusahaan pelayaran Belanda yang semula kembang-kempis, tetapi pada masa tanam paksa mendapat keuntungan yang besar.
    • Pabrik-pabrik gula yang semula diusahakan oleh kaum swasta Cina, kemudian juga dikembangkan oleh pengusaha Belanda karena keuntungannya besar.
  • Bagi Indonesia
    • Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan bahkan kematian.
    • Rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
    • Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang berorientasi ekspor.

REAKSI TERHADAP SISTEM TANAM PAKSA
Reaksi atas pelaksanaan sistem tanam paksa datang dari golongan liberalis Belanda, antara lain Baron van Hoevel, Vitalis, Eduard Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli artinya telah banyak menderita. Ia menulis buku berjudul Max Havelaar atau lelang kopi persekutuan dagang Belanda. Tulisan tersebut mengisahkan penderitaan Saijah dan Adinda akibat tanam paksa di Lebak, Banten. Karena reaksi-reaksi tersebut, secara berangsur-angsur pemerintah mulai mengurangi pemerasan lewat tanam paksa dan digantikan oleh politik ekonomi liberal. Tonggak berakhirnya tanam paksa adalah dikeluarkannya UU Pokok Agraria tahun 1870.